Gugat Pemberhentian dari KPU Jabar, Ummi Wahyuni Hadirkan Tiga Ahli di Sidang PTUN Jakarta

Berita, Politik15 Views
banner 468x60

bogorplus.id- Dalam sidang sengketa Tata Usaha Negara yang digelar di PTUN Jakarta, Selasa (27/5), mantan Ketua KPU Provinsi Jawa Barat, Ummi Wahyuni, menghadirkan tiga ahli untuk memberikan keterangan penting terkait polemik pemberhentiannya.

Ketiganya adalah pakar hukum tata negara Feri Amsari, mantan Ketua Bawaslu RI Abhan, serta aktivis pemilu Jeirry Sumampouw.

banner 336x280

Sidang ini menyoroti keputusan KPU RI yang mencopot Ummi dari jabatannya, sebagai tindak lanjut dari putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Kuasa hukum Ummi menggugat ke PTUN, dengan argumen bahwa tindakan tersebut cacat prosedur dan menyalahi kewenangan kelembagaan.

Dalam kesaksiannya, Feri Amsari dari Universitas Andalas menegaskan bahwa DKPP bukan lembaga yudikatif sebagaimana dimaksud dalam konstitusi.

“DKPP tidak termasuk dalam lingkungan peradilan yang diatur Mahkamah Agung. Ia bukan lembaga peradilan dan tidak boleh bertindak seperti itu,”ucap Feri di hadapan majelis hakim.

Ia juga mengkritik tafsir final dan mengikat yang sering dilekatkan pada putusan DKPP. Menurutnya, sifat itu harus ditujukan kepada lembaga eksekutorial seperti Presiden atau KPU RI, tergantung posisi pejabat yang bersangkutan.

“Dalam kasus ini, karena yang diberhentikan adalah Ketua KPU Provinsi, maka keputusan final dan mengikat itu seharusnya ditindaklanjuti oleh KPU RI,” tegasnya.

Abhan, Ketua Bawaslu RI periode 2017–2022, mengulas soal legal standing pengadu dalam perkara ini.

Ia menyatakan bahwa peserta pemilu dalam konteks pengaduan ke DKPP harus dibuktikan secara sah menurut UU Pemilu.

“Jika seseorang mengaku sebagai peserta pemilu, harus ada kuasa tertulis dari partai politik sesuai AD/ART. Jika tidak, aduannya tidak layak diproses,” ujarnya.

Sementara itu, Jeirry Sumampouw, mantan Koordinator JPPR dan anggota tim penyusun Peraturan DKPP, menilai fungsi DKPP kini melenceng dari gagasan awal pembentukannya.

Ia menilai banyak putusan DKPP yang kerap dianulir PTUN sebagai bukti lemahnya dasar hukum dan prosedur lembaga tersebut.

“Kasus Evi Novida menjadi preseden buruk yang menunjukkan perlunya evaluasi total terhadap DKPP,” kata Jeirry.

Ia juga menyoroti mekanisme kolektif-kolegial dalam pengambilan keputusan KPU.

Menurut dia, tanggung jawab rekapitulasi suara berada di tangan KPU RI, bukan individu atau KPU Provinsi.

“Penetapan hasil Pemilu DPR RI adalah wewenang KPU RI. Kalau ada kesalahan, tanggung jawab itu kolektif dan harus dibenahi bersama sebelum tahapan selesai,” jelasnya.

Sidang ini menjadi sorotan publik karena menyangkut independensi dan akuntabilitas lembaga penyelenggara pemilu.

Pihak Ummi Wahyuni berharap majelis hakim PTUN dapat memutus perkara secara adil dengan mempertimbangkan fakta dan pendapat para ahli yang dihadirkan.

Sidang lanjutan dijadwalkan akan digelar pekan depan dengan agenda pemeriksaan bukti tambahan dari kedua pihak.

 

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *