Reformasi Tumbuh Padi

banner 468x60

Oleh Sutanandika

Ketua Cisadane Resik Indonesia

banner 336x280

bogorplus.id -Sudah 27 tahun reformasi bergulir sejak 1998, tetapi kita masih harus bertanya dengan jujur: apa yang sebenarnya telah berubah?

Reformasi lahir dari semangat menggulingkan rezim otoriter demi membangun sistem yang lebih demokratis, adil, dan manusiawi.

Ia membawa harapan besar tentang tegaknya supremasi hukum, terbukanya ruang partisipasi warga, serta perbaikan ekonomi dan sosial yang merata.

Namun hari ini, kita menyaksikan kenyataan yang jauh dari harapan tersebut.

Harapan yang Tertinggal

Korupsi masih menjadi penyakit menahun di tubuh birokrasi dan politik. Hukum masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Demokrasi mengalami kemunduran, menjelma menjadi prosedural belaka hanya ritual lima tahunan tanpa kedalaman nilai.

Ditambah lagi, krisis lingkungan memburuk secara sistemik: hutan dibuka tanpa kendali, laut dipagari oleh kepentingan modal, sampah mencemari sungai dan pesisir, sementara reformasi agraria seringkali salah sasaran.

Reformasi yang dulu hidup dalam jerit dan harapan kini mulai kehilangan arah. Ia menjadi sunyi, digantikan oleh retorika kosong dalam upacara tahunan dan diskusi yang steril dari sikap kritis.

Kekuasaan Berganti, Masalah Tetap

Presiden boleh berganti—dari Habibie hingga Prabowo hari ini—tetapi akar persoalan tidak banyak berubah. KKN tetap merajalela.

Ketimpangan sosial semakin nyata. Kekuasaan semakin jauh dari rakyat dan dekat dengan modal. Agenda reformasi seolah terhenti di tengah jalan.

Yang lebih menyedihkan, kerusakan lingkungan belum dianggap sebagai bagian dari krisis reformasi.

Padahal keadilan ekologis adalah bagian tak terpisahkan dari keadilan sosial. Ketika alam dihancurkan, maka kehidupan rakyat—khususnya kelompok rentan—menjadi taruhannya.

Padi yang Tumbuh Diam-Diam

Sebagian besar aktivis 98 memang tidak mengambil jalur politik atau kekuasaan. Tapi bukan berarti mereka diam.

Mereka bergerak di jalan sunyi, di akar rumput, di sektor pendidikan, lingkungan, ekonomi kerakyatan, dan penguatan generasi muda. Seperti padi, mereka tumbuh tanpa banyak bunyi, tapi memberi kehidupan.

Inilah wajah lain dari reformasi yang jarang disorot media. Wajah yang tidak memperebutkan panggung, tapi memilih jalan sunyi: menanam, mengajar, membersihkan sungai, mendampingi petani, dan membangun kesadaran baru tentang pentingnya merawat bumi.

Menanam adalah Melawan

Reformasi bukan milik masa lalu. Ia bukan monumen sejarah, melainkan proses yang masih berlangsung.

Hari ini, tugas generasi muda bukan sekadar mengenang, melainkan melanjutkan. Menanam pohon adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan iklim. Menjaga sungai adalah aksi demokrasi. Memperkuat ketahanan pangan lokal adalah cara paling nyata melawan ketimpangan sistemik.

Kita harus menjaga agar reformasi tidak menjadi catatan yang berdebu di rak buku. Ia harus terus hidup—dalam pikiran, tindakan, dan keberanian moral.

Penutup

Reformasi belum mati, tetapi ia sedang diuji: apakah ia akan tumbuh seperti padi—mengakar, menunduk, memberi kehidupan—atau justru mengering sebagai simbol kosong.

Perubahan sejati tidak selalu datang dari panggung besar. Kadang ia tumbuh diam-diam, di ladang, di tepi sungai, di ruang belajar kecil.

Maka, mari kita terus menanam. Karena dalam dunia yang kian bising oleh kuasa, tumbuh dalam kesunyian adalah bentuk perlawanan yang paling jujur.

 

 

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *